Hidup
Mereka adalah Hidupku
Oleh
Gusti Gina Madinatul Munawarni
“Ma,
uang Raffi abis. Besok ada keperluan lagi ma mau beli buku kuliah, ditambah
bayar semesteran Raffi dan Eno,” Bu Hana, seorang janda dengan delapan orang
anak ini terenyuh mendengar suara anaknya telepon yang sedang kehabisan uang.
Dia diam sejenak lalu mengecek dompetnya dan hanya mendapati selembar uang lima
puluh ribuan.
“berapa
sayang perlunya?” tanyanya lembut.
“tiga
ratus ribu saja dulu, Ma. Raffi perlu sekali uangnya sekarang, Raffi belum
makan dari pagi. Kalau besok sekitar dua juta delapan ratus ribu” Mendengar
perkataan anaknya, Bu Hana meneteskan air mata, jantungnya terasa tertusuk
benda tajam. Bagaimana bisa dia menghabiskan makanan didepannya sekarang,
sedangkan anaknya yang sedang dikota orang sedangkelaparan.
“oh
segitu, nak?” ucap Bu Hana perlahan. “iya, Ma. Tidak ada ya , ma?” tanya Raffi
was-was. “ada sayang, ada. Kamu tenang saja ya, sebentar lagi nanti kalau Adin
pulang mama suruh dia transfer uang ke rekening kamu, ya. Jangan pernah
berpikir kamu akan melarat karena
kekurangan uang ya, nak. Kamu belajarnya yang rajin, berdoa juga, dan sholat
lima waktu jangan sampai ketinggalan. Mama ga nuntut Raffi buat bikin mama
bangga, mama cuman pengen Raffi bahagia dan sukses.” Bu Hana tersenyum pahit,
tak tega baginya mengatakan tidak ada kepada anaknya.
“iya,Ma.”
Jawab Raffi anak sulung Bu Hana diseberang sana.
Bu
Hana tidak dapat meneruskan makanannya, dia terpaku dalam beberapa saat
memandang makanan dihadapannya. Dia membayangkan anaknya yang sendirian sedang
kelaparan, sedangkan dia sendiri disini dapat menikmati makanan yang banyak
karena usaha Bu Hana adalah rumah makan. Bu Hana terdiam dan murung sambil
berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang tiga ratus ribu rupiah
sekarang.
“Ma,
Adin pulang!” Adin, anak perempuan yang paling tua datang menghampiri ibunya
dan memandang ibunya dengan heran. Kemudian dia meletakkan tas dan mengambil
makanan dan kembali duduk disamping ibunya. “mama kenapa? Ko ga dihabisin
makanannya? Adin makan, ya. Lapar banget ma,seharian di sekolah ngga jajan,
ngehemat buat tabungan Adin ntar kuliah.”
“Sekarang
abangmu butuh uang, dan besok saatnya bayar semesteran mereka,” katanya lirih.
Adin
menghela napas panjang, “Mamaku sayang, mending mama abisin makannya. Kalau
mama ngga makan, nanti sakit, terus siapa yang cariin uang buat Bang Raffi,
Bang Eno, Adin, Tata, dan keempat dede yang masih kecil? Malah tambah masalah,
kan?” Bu Hana yang mendengar ucapan Adin seakan mendapat suntikan semangat. “iya
ya, Din. Yasudah mama abisin makannya,” Bu Hana meneruskan makanannya dan Adin
tersenyum melihat ibunya.
Pelanggan
sedang banyak, Bu Hana sibuk menyiapkan pesanan mereka dengan pembantu dan
Adin. Jelas terlihat semangat yang menggebu-gebu diwajahnya dalam mencari
nafkah untuk anak-anaknya. Bu Hana memang pekerja keras, selepas sholat subuh
dia kepasar untuk membeli keperluan dagangan
dan pulang kerumah sebelum anak-anaknya berangkat kesekolah untuk
menyiapkan sarapan anaknya dan memberi mereka uang saku untuk mereka. Setelah
masak-masak makanan untuk dijual siap dan pembantu datang, Bu Hana pergi ke
kantor dengan jarak 30km setiap harinya, dan pulang secepat mungkin jika tidak
ada kerjaan dikantor untuk berdagang. Tidak pernah ada kata lelah baginya, meskipun
dia harus memikul beban sendirian tanpa sosok suami disisinya. Semua itu dia
lakukan demi anak-anaknya, atas dasar cinta tulusnya kepada anak-anaknya.
Bu
Hana menghitung semua uang hasil jualannya, “dua ratus empat puluh dua ribu
rupiah. Alhamdulillah, rezeki kamu Raffi,” dipeluknya uang itu dan
dikembalikannya ke saku celemek lusuhnya.
Memang
benar kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah ada duanya, ibu rela melakukan
apa saja demi anaknya, memenuhi segala kebutuhan dan keinginan anaknya. Namun
sekarang zaman mulai berubah, nilai-nilai norma dan moral ikut bergeser seiring
zaman, banyak anak yang tidak menyadari perjuangan ibu, kasih sayang ibu yang selalu
beliau berikan, malah banyak anak yang merasa kurang kasih sayang padahal jika
dia mau untuk menengok sedikit kebelakang untuk melihat hal-hal kecil yang
dilakukan ibunya itulah yang sangat berarti. Ibu Hana adalah ibu yang terhebat
yang pernah ada, beliau rela dikejar-kejar rentenir demi memenuhi kebutuhan
kedelapan anaknya, beliau juga mau melakukan apa saja anak-anaknya, jabatan
beliau dikantor tidak membuat beliau melalaikan tugas sebagai ibu, bahkan
beliau juga menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Tidak pernah terbesit
dipikiran Bu Hana untuk membeli perhiasan, tas branded, baju mahal, sepatu,
furniture yang mahal dan mobil untuk dirinya sendiri, bagi Bu Hana pendidikan
anak-anaknya adalah nomor satu, beliau bertekad menjadikan semua anaknya seorang
sarjana. Mulut dan tangan Bu Hana juga tidak pernah lelah memohon pada Yang
Maha Kuasa untuk selalu melindungi anak-anaknya. Bagi Bu Hana, waktu lebih dari
uang, waktu sangat berharga. Bu Hana pongkang pangking menghidupi anak-anaknya,
tidak peduli perkataan orang-orang yang kadang usil mencemoohnya.
Setiap
pukul 18.00 Wita, Bu Hana menutup rumah makannya. Baginya, malam adalah waktu
untuk beristirahat dan waktu untuk kebersamaan dengan anak-anaknya. Butuh waktu
sekitar satu jam lebih untuk membereskan semuanya, karena esok pagi beliau
harus memulai lagi rutinitas untuk menghidupi anak-anaknya. Keempat anak beliau
yang masih kecil berkeliaran dirumah dan membuat keributan, bukannya marah tapi
Bu Hana malah tersenyum melihat tingkah anak-anaknya. Untuk kalian ibu hidup, nak. Kalian alasan ibu bertahan, batinnya.
***
“Mama kenapa?” tanya Adin yang melihat
ekspresi ibunya tidak seperti biasanya. Bu Hana tidak menjawab sepatah
katapun.”Adin udah masak nasi, bikin susu dan nyiapin piring dimeja. Jadi mama
bikin sayurannya aja, sini Adin yang dadar telurnya.” Ada yang aneh, ada yang
merasa janggal dengan perasaan Bu Hana sekarang. Entah apa itu, bahkan beliau
sendiri tidak mengetahuinya.
“Adin
berangkat, Ma. Mama hari ini nggak usah ke kantor, izin aja dulu. Rasanya mama
lagi nggak fit. Istirahat aja hari ini,” Katanya sambil menyalami ibunya.
Mendengar perkataan Adin, Bu Hana teringat niatnya mau kekantor untuk membon
uang. Bu Hana dengan cepat memasak makanan yang akan dijual. Semua dilakukan
serba terburu-buru. Rasanya ingin cepat-cepat mengirimi uang kepada Raffi dan
Eno, karena Bu Hana selalu gelisah apabila beliau tidak dapat memenuhi
kebutuhan anaknya, apapun bentuknya. Benar-benar sosok ibu yang mulia. Bu Hana
mandi dan bersiap-siap berangkat kekantor, sekarang saatnya menjadi pegawai
negeri sipil. Bu Hana becermin dan melihat sosok wanita separuh baya
didepannya, inikah dirinya sekarang? Harus berdiri sendiri memikul beban hidup,
namun dia tau dia tidak boleh menyerah. Dia harus bersyukur, masih banyak ornag
yang kurang beruntung didepannya, Tuhan memberikan cobaan karena Dia sayang
kepada umat-Nya.
Motor
bebek dinas yang dikendarai Bu Hana melaju membelah jalanan yang mulai ramai.
Entah kenapa pikiran Bu Hana terbayang-bayang masa lalunya. Memori itu seakan
tiba-tiba muncul, dimulai dengan umur Bu Hana 18 tahun saat kehilangan ayahnya
tercinta, dari sanalah Bu Hana merasa hidupnya sudah kacau, seakan-akan
kehilangan arah. Berlanjut dengan pernikahan pertama yang gagal dengan Ayahnya
Adin, dan teringat lagi saat anak pertamanya meninggal diusia 3 tahun. Memori
itu semakin menghantui pikiran Bu Hana dengan ingatan perceraiannya yang sempat
membuat keluarga besarnya marah kepadanya dan Bu Hana memilih mengasingkan diri
disebuah desa kecil dan disanalah Bu Hana kembali menikah, namun malang
pernikahan itu hanya bertahan sekitar 7 tahun dan suami beliau meninggal dunia
akibat sakit keras. Tanpa terasa air mata Bu Hana jatuh membasahi pipinya,
sekarang suami yang dia cintai sudah tidak ada. Dia hanya memiliki anak-anaknya
yang sangat dia cintai, oleh karena itu Bu hana bertekad akan berusaha sebisa
mungkin membahagiakan kedelepan anaknya dan tidak akan membiarkan mereka
sengsara, apapaun caranya bahkan dengan mengorbankan diri dan kebahagiaannya
sekalipun. Bu Hana rela utang sana sini, kerja dari matahari terbit hingga
tenggelam karena mengingat senyuman anak-anaknya.
“Teeeeeeeeeeet!”
Bu Hana mengklakson dengan jantung berdegup kencang, karena orang yang
didepannya tiba-tiba menyeberang dengan cara memotong jalan, Bu Hana sudah
tidak bisa mengontrol motornya. Seketika suara hantaman yang keras memecah
konsentrasi semua orang disekitar, Bu Hana merasa tubuhnya terangkat dan
terhempas menghantam kerasnya jalan.
Bu
Hana melihat langit yang mendung, dan matanya mulai kabur. Tubuhnya mati rasa.
Kepala dan sekujur tubuhnya bersimbah darah. Aku harus bangkit, aku harus
berdiri, teriaknya dalam hati. Namun apa daya, tubunya tidak dapat digerakkan
sedikitpun, darah mengucur dari kepala dan hidungnya. Sayup-sayup Bu Hana
mendengar suara orang-orang mendekatinya, ada tangisan, teriakan, dan ada yang
berkata ini itu. Mata Bu hana semakin berat, rasanya sulit membuka kembali,
sedikit demi sedikit langit mendung mulai tertutupi oleh wajah-wajah orang yang
mengerumuninya dan kemudia tertutup oleh kelopak matanya.
***
“Apa?
MAMA KECELAKAAN?” Adin menangis histeris ketika sampai dirumah dan mengetahui
kabar buruk dari Bi Imah. Adin sesegera mungkin menuju Rumah Sakit tempat
ibunya berada.
Sepanjang
perjalanan Adin menangis dibalik helm. “Mama, Mama kenapa? Kan sudah Adin
bilang istirahat dirumah aja, gausah kerja hari ini. Mama jangan tinggalin
Adin, Adin gabisa tanpa mama. Mama harus kuat. Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang
Engkau berikan kepada mamaku? Kenapa nggak aku aja yang negarasin, mama sudah
terlalu tua.” Adin sesekali berteriak dan kadang ada beberapa orang yang
kebetulan berpapasan menoleh kearahnya. “Mamaaaaaaaa!!!!” teriaknya lagi, lagi dan
lagi.
Adin
segera menuju ruangan ibunya dirawat. Disana sudah ada teman sekantor Bu Hana,
Pak Hilman. “Gimana keadaan mama, Pak?” tanya Adin nanar.
“Mama
kamu sedang koma. Kata dokter tipis harapan hidup mama kamu, kita tunggu saja
keajaiban dari Allah.” Mendengar jawaban Pak Hilman, Adin membeku karena ini
benar-benar sulit dipercaya. Adin memandang ibunya yang masih memakai baju
kantor yang sobek dan bersimbah darah, dan rambut yang mengeras karena darah.
Adin bingung, ini kamar VIP, kenapa pelayananya seperti ini? Baju pasien tidak
diganti, tubuh pasien tidak dibersihkan. Aneh. Pelayanan yang buruk.
“tok..tok..tok” Adin kaget mendengar pintu
diketok. Siapa ya? Pikirnya. Dia intip dulu dibalik tirai jendela. Mata Adin
membulat melihat siapa yang dia lihat, itu nenek! Kok nenek mau jengukin mama? Kan hubungan nenek sama mama kurang baik
gara-gara mama deket sama seorang laki-laki yang tidakdisukai nenek. Baru
beberapa hari yang lalu bertengkarnya, dan nenek marah besar. Aku kira nenek
gak bakalan datang, Adin bergumam sendiri.
Wajah
tua Nenek Galuh, ibu dari Bu Hana tampak sangat sedih ketika beliau berdiri
dihadapan Bu Hana. Air mata beliau menetes melihat keadaan anak sulungnya itu.
Adin yang memperhatikan nenek tampak masih bingung.
“Mamamu
itu anak nenek juga, dan nenek seorang ibu.” Mendengar perkataan neneknya, Adin
terperangah. Perkataan neneknya seakan-akan menjawab pertanyaannya. “kamu harus
sekolah besok, tidur sana! Sudah jam 9 malam,” kata neneknya sambil berjalan
menuju kulkas.
“nggak,
nek. Adin besok izin, Adin jagain mama!” mendengar jawaban Adin, neneknya
mendekat dan memukul pelan.
“Hush!
Siapa yang ngizinin kamu tidak masuk besok? Ntar mama kamu marah kamu tidak
sekolah.” Nenek Galuh berkata tegas. “Tapi, nek..” sanggah Adin. “Tidak ada
tapi-tapian! Tidur! Selama mamamu dirawat disini, siang nenek yang jaga. Kamu
sore sampai malam,” kata neneknya tersenyum. Adin merasa lega mendengar
perkataan neneknya.
Yang
namanya ibu, siapapun orangnya, namanya, dimanapun tinggalnya tetap saja ibu
itu selalu menyayangi anaknya. Bahkan seorang ibu tidak pernah benar-benar
marah, hanya saja kemarahan yang dinampakkannya adalah bentuk kasih sayang dia.
Mata
Adin mulai berat karena lelah menangis seharian ini, tubunya juga terasa lemah,
mungkin sudah saatnya dia tidur biar besok pagi bangun jam 4 subuh dan balik
kerumah, karena jarak Rumah Sakit ke rumahnya sekitar 30km, belum lagi dia
siap-siap sekolah dan menggantikanperan ibu untuk menyiapkan makanan.
“Adiiiin!
Ibumu sadar!” teriakan nenek membuat Adin bangun dengan segera dan menghampiri
ibunya. Bu Hana dengan perlahan membuka matanya, dan beliau meneteskan air mata
ketika melihat ibu dan anaknya disampingnya. Bibirnya mau bicara, tapi nenek
mengisyaratkan untuk tidak bicara. Dengan bahagia Adin memeluk neneknya. Dan
kemudian memanggil suster untuk melaporkan hal ini.
“Luar
biasa. Keajaiban! Bahkan dokter mengira ibu akan koma dalam jangka waktu yang
panjang, karena beberapa syaraf di bagian otak dan dekat mata ibu putus dan
mengalami gangguan, mungkin ibu akan kesulitan membuka mata sebelah kanan,
karena dua syaraf disana putus, begitu tadi yang dikatakan dokter, permisi bu.”
ucap suster didepan pintu seusai memeriksa Bu Hana dan kembali keruangannya.
Adin tidak jadi tidur, dia dan nenek mengganti pakaian Bu Hana dan membersihkan
rambut Bu Hana adan luka-luka kering ditubuhnya karena lecet. Perjuangan Bu
Hana untuk hidup benar-benar luar biasa, semangatnya ada karena anak-anaknya
ditambah dengan kasih sayang dari ibunya sendiri. Bu Hana bahkan sangat
semangat untuk sembuh, beliau paksakan untuk makan, minum obat walaupun
sebenarnya tidak ingin dan tidak bernafsu.
“Ma,
Kak Raffi datang,” Ucap Adin sambil mengelus kepala ibunya. Bu Hana perlahan
membuka matanya dan melihat sosok anak sulungnya yang sudah terpisah 12 tahun
lebih dan hanya bisa betemu sesekali dalam setahun dikarenakan perceraiannya
dengan suami yang pertama.
“Mama,
ini Raffi. Cepet sembuh, Ma. Maafin Raffi nyusahin mama, kami hanya bisa
menghabiskan uang mama. Tapi, Raffi janji akan bikin mama bangga.” Raffi
menggenggam tangan ibunya dan Adin yang melihatnya merasa terenyuh dan
meneteskan air mata. Bu Hana tersenyum walau beliau tidak bisa berkata apa-apa.
Ya Tuhan, sungguh aku ingin memeluk
anak-anakku sekarang, mereka semua semangatku. Hidup anak-anakku adala hidupku,
untuk mereka aku hidup didunia ini, batinnya.
Kata
dokter seharusnya Bu Hana dirawat sekitar 1 bulan, minimal 3 minggu. Karena
untuk sembuh total saja perlu 3 bulan, tapi untuk perawatan bisa 3-4 minggu.
Namun pada hari ke-10 Bu Hana yang kondisinya masih pas-pasan bersikeras ingin
pulang, karena tidak ingin menambah beban biaya, dia ingin uang yang diberikan
kantor sebagai biaya berobat dikasih ke Raffi dan eno saja untuk bayaran
semesteran. Bu Hana lebih memilih dirawat dirumah, walaupun seadanya namun
gratis dan uangnya bisa untuk keperluan yang lain. Bu Hana juga merasa tidak
bisa meninggalkan kewajibannya sebagai ibu, beliau sangat merindukan
anak-anaknya. Beliau sadar perjalanan beliau masih panjang sepanjang harapan
beliau terhadap anak-anaknya. Seorang ibu berbuat tanpa pamrih, tidak pernah
menuntut apapun dari anak-anaknya, menyayangi dengan setulus hati, dan bagi ibu
kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaannya. BASED ON TRUE STORY
0 comments