­
­

Hidup Mereka adalah Hidupku

By Gusti Gina - Monday, March 17, 2014



Hidup Mereka adalah Hidupku
Oleh Gusti Gina Madinatul Munawarni
“Ma, uang Raffi abis. Besok ada keperluan lagi ma mau beli buku kuliah, ditambah bayar semesteran Raffi dan Eno,” Bu Hana, seorang janda dengan delapan orang anak ini terenyuh mendengar suara anaknya telepon yang sedang kehabisan uang. Dia diam sejenak lalu mengecek dompetnya dan hanya mendapati selembar uang lima puluh ribuan.
“berapa sayang perlunya?” tanyanya lembut.
“tiga ratus ribu saja dulu, Ma. Raffi perlu sekali uangnya sekarang, Raffi belum makan dari pagi. Kalau besok sekitar dua juta delapan ratus ribu” Mendengar perkataan anaknya, Bu Hana meneteskan air mata, jantungnya terasa tertusuk benda tajam. Bagaimana bisa dia menghabiskan makanan didepannya sekarang, sedangkan anaknya yang sedang dikota orang sedangkelaparan.
“oh segitu, nak?” ucap Bu Hana perlahan. “iya, Ma. Tidak ada ya , ma?” tanya Raffi was-was. “ada sayang, ada. Kamu tenang saja ya, sebentar lagi nanti kalau Adin pulang mama suruh dia transfer uang ke rekening kamu, ya. Jangan pernah berpikir kamu akan melarat  karena kekurangan uang ya, nak. Kamu belajarnya yang rajin, berdoa juga, dan sholat lima waktu jangan sampai ketinggalan. Mama ga nuntut Raffi buat bikin mama bangga, mama cuman pengen Raffi bahagia dan sukses.” Bu Hana tersenyum pahit, tak tega baginya mengatakan tidak ada kepada anaknya.
“iya,Ma.” Jawab Raffi anak sulung Bu Hana diseberang sana.
Bu Hana tidak dapat meneruskan makanannya, dia terpaku dalam beberapa saat memandang makanan dihadapannya. Dia membayangkan anaknya yang sendirian sedang kelaparan, sedangkan dia sendiri disini dapat menikmati makanan yang banyak karena usaha Bu Hana adalah rumah makan. Bu Hana terdiam dan murung sambil berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang tiga ratus ribu rupiah sekarang.
“Ma, Adin pulang!” Adin, anak perempuan yang paling tua datang menghampiri ibunya dan memandang ibunya dengan heran. Kemudian dia meletakkan tas dan mengambil makanan dan kembali duduk disamping ibunya. “mama kenapa? Ko ga dihabisin makanannya? Adin makan, ya. Lapar banget ma,seharian di sekolah ngga jajan, ngehemat buat tabungan Adin ntar kuliah.”
“Sekarang abangmu butuh uang, dan besok saatnya bayar semesteran mereka,” katanya lirih.
Adin menghela napas panjang, “Mamaku sayang, mending mama abisin makannya. Kalau mama ngga makan, nanti sakit, terus siapa yang cariin uang buat Bang Raffi, Bang Eno, Adin, Tata, dan keempat dede yang masih kecil? Malah tambah masalah, kan?” Bu Hana yang mendengar ucapan Adin seakan mendapat suntikan semangat. “iya ya, Din. Yasudah mama abisin makannya,” Bu Hana meneruskan makanannya dan Adin tersenyum melihat ibunya.
Pelanggan sedang banyak, Bu Hana sibuk menyiapkan pesanan mereka dengan pembantu dan Adin. Jelas terlihat semangat yang menggebu-gebu diwajahnya dalam mencari nafkah untuk anak-anaknya. Bu Hana memang pekerja keras, selepas sholat subuh dia kepasar untuk membeli keperluan dagangan  dan pulang kerumah sebelum anak-anaknya berangkat kesekolah untuk menyiapkan sarapan anaknya dan memberi mereka uang saku untuk mereka. Setelah masak-masak makanan untuk dijual siap dan pembantu datang, Bu Hana pergi ke kantor dengan jarak 30km setiap harinya, dan pulang secepat mungkin jika tidak ada kerjaan dikantor untuk berdagang. Tidak pernah ada kata lelah baginya, meskipun dia harus memikul beban sendirian tanpa sosok suami disisinya. Semua itu dia lakukan demi anak-anaknya, atas dasar cinta tulusnya kepada anak-anaknya.
Bu Hana menghitung semua uang hasil jualannya, “dua ratus empat puluh dua ribu rupiah. Alhamdulillah, rezeki kamu Raffi,” dipeluknya uang itu dan dikembalikannya ke saku celemek lusuhnya.
Memang benar kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah ada duanya, ibu rela melakukan apa saja demi anaknya, memenuhi segala kebutuhan dan keinginan anaknya. Namun sekarang zaman mulai berubah, nilai-nilai norma dan moral ikut bergeser seiring zaman, banyak anak yang tidak menyadari perjuangan ibu, kasih sayang ibu yang selalu beliau berikan, malah banyak anak yang merasa kurang kasih sayang padahal jika dia mau untuk menengok sedikit kebelakang untuk melihat hal-hal kecil yang dilakukan ibunya itulah yang sangat berarti. Ibu Hana adalah ibu yang terhebat yang pernah ada, beliau rela dikejar-kejar rentenir demi memenuhi kebutuhan kedelapan anaknya, beliau juga mau melakukan apa saja anak-anaknya, jabatan beliau dikantor tidak membuat beliau melalaikan tugas sebagai ibu, bahkan beliau juga menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Tidak pernah terbesit dipikiran Bu Hana untuk membeli perhiasan, tas branded, baju mahal, sepatu, furniture yang mahal dan mobil untuk dirinya sendiri, bagi Bu Hana pendidikan anak-anaknya adalah nomor satu, beliau bertekad menjadikan semua anaknya seorang sarjana. Mulut dan tangan Bu Hana juga tidak pernah lelah memohon pada Yang Maha Kuasa untuk selalu melindungi anak-anaknya. Bagi Bu Hana, waktu lebih dari uang, waktu sangat berharga. Bu Hana pongkang pangking menghidupi anak-anaknya, tidak peduli perkataan orang-orang yang kadang usil mencemoohnya.
Setiap pukul 18.00 Wita, Bu Hana menutup rumah makannya. Baginya, malam adalah waktu untuk beristirahat dan waktu untuk kebersamaan dengan anak-anaknya. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk membereskan semuanya, karena esok pagi beliau harus memulai lagi rutinitas untuk menghidupi anak-anaknya. Keempat anak beliau yang masih kecil berkeliaran dirumah dan membuat keributan, bukannya marah tapi Bu Hana malah tersenyum melihat tingkah anak-anaknya. Untuk kalian ibu hidup, nak. Kalian alasan ibu bertahan, batinnya.
***
 “Mama kenapa?” tanya Adin yang melihat ekspresi ibunya tidak seperti biasanya. Bu Hana tidak menjawab sepatah katapun.”Adin udah masak nasi, bikin susu dan nyiapin piring dimeja. Jadi mama bikin sayurannya aja, sini Adin yang dadar telurnya.” Ada yang aneh, ada yang merasa janggal dengan perasaan Bu Hana sekarang. Entah apa itu, bahkan beliau sendiri tidak mengetahuinya.
“Adin berangkat, Ma. Mama hari ini nggak usah ke kantor, izin aja dulu. Rasanya mama lagi nggak fit. Istirahat aja hari ini,” Katanya sambil menyalami ibunya. Mendengar perkataan Adin, Bu Hana teringat niatnya mau kekantor untuk membon uang. Bu Hana dengan cepat memasak makanan yang akan dijual. Semua dilakukan serba terburu-buru. Rasanya ingin cepat-cepat mengirimi uang kepada Raffi dan Eno, karena Bu Hana selalu gelisah apabila beliau tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya, apapun bentuknya. Benar-benar sosok ibu yang mulia. Bu Hana mandi dan bersiap-siap berangkat kekantor, sekarang saatnya menjadi pegawai negeri sipil. Bu Hana becermin dan melihat sosok wanita separuh baya didepannya, inikah dirinya sekarang? Harus berdiri sendiri memikul beban hidup, namun dia tau dia tidak boleh menyerah. Dia harus bersyukur, masih banyak ornag yang kurang beruntung didepannya, Tuhan memberikan cobaan karena Dia sayang kepada umat-Nya.
Motor bebek dinas yang dikendarai Bu Hana melaju membelah jalanan yang mulai ramai. Entah kenapa pikiran Bu Hana terbayang-bayang masa lalunya. Memori itu seakan tiba-tiba muncul, dimulai dengan umur Bu Hana 18 tahun saat kehilangan ayahnya tercinta, dari sanalah Bu Hana merasa hidupnya sudah kacau, seakan-akan kehilangan arah. Berlanjut dengan pernikahan pertama yang gagal dengan Ayahnya Adin, dan teringat lagi saat anak pertamanya meninggal diusia 3 tahun. Memori itu semakin menghantui pikiran Bu Hana dengan ingatan perceraiannya yang sempat membuat keluarga besarnya marah kepadanya dan Bu Hana memilih mengasingkan diri disebuah desa kecil dan disanalah Bu Hana kembali menikah, namun malang pernikahan itu hanya bertahan sekitar 7 tahun dan suami beliau meninggal dunia akibat sakit keras. Tanpa terasa air mata Bu Hana jatuh membasahi pipinya, sekarang suami yang dia cintai sudah tidak ada. Dia hanya memiliki anak-anaknya yang sangat dia cintai, oleh karena itu Bu hana bertekad akan berusaha sebisa mungkin membahagiakan kedelepan anaknya dan tidak akan membiarkan mereka sengsara, apapaun caranya bahkan dengan mengorbankan diri dan kebahagiaannya sekalipun. Bu Hana rela utang sana sini, kerja dari matahari terbit hingga tenggelam karena mengingat senyuman anak-anaknya.
“Teeeeeeeeeeet!” Bu Hana mengklakson dengan jantung berdegup kencang, karena orang yang didepannya tiba-tiba menyeberang dengan cara memotong jalan, Bu Hana sudah tidak bisa mengontrol motornya. Seketika suara hantaman yang keras memecah konsentrasi semua orang disekitar, Bu Hana merasa tubuhnya terangkat dan terhempas menghantam kerasnya jalan.
Bu Hana melihat langit yang mendung, dan matanya mulai kabur. Tubuhnya mati rasa. Kepala dan sekujur tubuhnya bersimbah darah. Aku harus bangkit, aku harus berdiri, teriaknya dalam hati. Namun apa daya, tubunya tidak dapat digerakkan sedikitpun, darah mengucur dari kepala dan hidungnya. Sayup-sayup Bu Hana mendengar suara orang-orang mendekatinya, ada tangisan, teriakan, dan ada yang berkata ini itu. Mata Bu hana semakin berat, rasanya sulit membuka kembali, sedikit demi sedikit langit mendung mulai tertutupi oleh wajah-wajah orang yang mengerumuninya dan kemudia tertutup oleh kelopak matanya.
***
“Apa? MAMA KECELAKAAN?” Adin menangis histeris ketika sampai dirumah dan mengetahui kabar buruk dari Bi Imah. Adin sesegera mungkin menuju Rumah Sakit tempat ibunya berada.
Sepanjang perjalanan Adin menangis dibalik helm. “Mama, Mama kenapa? Kan sudah Adin bilang istirahat dirumah aja, gausah kerja hari ini. Mama jangan tinggalin Adin, Adin gabisa tanpa mama. Mama harus kuat. Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan kepada mamaku? Kenapa nggak aku aja yang negarasin, mama sudah terlalu tua.” Adin sesekali berteriak dan kadang ada beberapa orang yang kebetulan berpapasan menoleh kearahnya.  “Mamaaaaaaaa!!!!” teriaknya lagi, lagi dan lagi.
Adin segera menuju ruangan ibunya dirawat. Disana sudah ada teman sekantor Bu Hana, Pak Hilman. “Gimana keadaan mama, Pak?” tanya Adin nanar.
“Mama kamu sedang koma. Kata dokter tipis harapan hidup mama kamu, kita tunggu saja keajaiban dari Allah.” Mendengar jawaban Pak Hilman, Adin membeku karena ini benar-benar sulit dipercaya. Adin memandang ibunya yang masih memakai baju kantor yang sobek dan bersimbah darah, dan rambut yang mengeras karena darah. Adin bingung, ini kamar VIP, kenapa pelayananya seperti ini? Baju pasien tidak diganti, tubuh pasien tidak dibersihkan. Aneh. Pelayanan yang buruk.
 “tok..tok..tok” Adin kaget mendengar pintu diketok. Siapa ya? Pikirnya. Dia intip dulu dibalik tirai jendela. Mata Adin membulat melihat siapa yang dia lihat, itu nenek! Kok nenek mau jengukin mama? Kan hubungan nenek sama mama kurang baik gara-gara mama deket sama seorang laki-laki yang tidakdisukai nenek. Baru beberapa hari yang lalu bertengkarnya, dan nenek marah besar. Aku kira nenek gak bakalan datang, Adin bergumam sendiri.
Wajah tua Nenek Galuh, ibu dari Bu Hana tampak sangat sedih ketika beliau berdiri dihadapan Bu Hana. Air mata beliau menetes melihat keadaan anak sulungnya itu. Adin yang memperhatikan nenek tampak masih bingung.
“Mamamu itu anak nenek juga, dan nenek seorang ibu.” Mendengar perkataan neneknya, Adin terperangah. Perkataan neneknya seakan-akan menjawab pertanyaannya. “kamu harus sekolah besok, tidur sana! Sudah jam 9 malam,” kata neneknya sambil berjalan menuju kulkas.
“nggak, nek. Adin besok izin, Adin jagain mama!” mendengar jawaban Adin, neneknya mendekat dan memukul pelan.
“Hush! Siapa yang ngizinin kamu tidak masuk besok? Ntar mama kamu marah kamu tidak sekolah.” Nenek Galuh berkata tegas. “Tapi, nek..” sanggah Adin. “Tidak ada tapi-tapian! Tidur! Selama mamamu dirawat disini, siang nenek yang jaga. Kamu sore sampai malam,” kata neneknya tersenyum. Adin merasa lega mendengar perkataan neneknya.
Yang namanya ibu, siapapun orangnya, namanya, dimanapun tinggalnya tetap saja ibu itu selalu menyayangi anaknya. Bahkan seorang ibu tidak pernah benar-benar marah, hanya saja kemarahan yang dinampakkannya adalah bentuk kasih sayang dia.
Mata Adin mulai berat karena lelah menangis seharian ini, tubunya juga terasa lemah, mungkin sudah saatnya dia tidur biar besok pagi bangun jam 4 subuh dan balik kerumah, karena jarak Rumah Sakit ke rumahnya sekitar 30km, belum lagi dia siap-siap sekolah dan menggantikanperan ibu untuk menyiapkan makanan.
“Adiiiin! Ibumu sadar!” teriakan nenek membuat Adin bangun dengan segera dan menghampiri ibunya. Bu Hana dengan perlahan membuka matanya, dan beliau meneteskan air mata ketika melihat ibu dan anaknya disampingnya. Bibirnya mau bicara, tapi nenek mengisyaratkan untuk tidak bicara. Dengan bahagia Adin memeluk neneknya. Dan kemudian memanggil suster untuk melaporkan hal ini.
“Luar biasa. Keajaiban! Bahkan dokter mengira ibu akan koma dalam jangka waktu yang panjang, karena beberapa syaraf di bagian otak dan dekat mata ibu putus dan mengalami gangguan, mungkin ibu akan kesulitan membuka mata sebelah kanan, karena dua syaraf disana putus, begitu tadi yang dikatakan dokter, permisi bu.” ucap suster didepan pintu seusai memeriksa Bu Hana dan kembali keruangannya. Adin tidak jadi tidur, dia dan nenek mengganti pakaian Bu Hana dan membersihkan rambut Bu Hana adan luka-luka kering ditubuhnya karena lecet. Perjuangan Bu Hana untuk hidup benar-benar luar biasa, semangatnya ada karena anak-anaknya ditambah dengan kasih sayang dari ibunya sendiri. Bu Hana bahkan sangat semangat untuk sembuh, beliau paksakan untuk makan, minum obat walaupun sebenarnya tidak ingin dan tidak bernafsu.
“Ma, Kak Raffi datang,” Ucap Adin sambil mengelus kepala ibunya. Bu Hana perlahan membuka matanya dan melihat sosok anak sulungnya yang sudah terpisah 12 tahun lebih dan hanya bisa betemu sesekali dalam setahun dikarenakan perceraiannya dengan suami yang pertama.
“Mama, ini Raffi. Cepet sembuh, Ma. Maafin Raffi nyusahin mama, kami hanya bisa menghabiskan uang mama. Tapi, Raffi janji akan bikin mama bangga.” Raffi menggenggam tangan ibunya dan Adin yang melihatnya merasa terenyuh dan meneteskan air mata. Bu Hana tersenyum walau beliau tidak bisa berkata apa-apa. Ya Tuhan, sungguh aku ingin memeluk anak-anakku sekarang, mereka semua semangatku. Hidup anak-anakku adala hidupku, untuk mereka aku hidup didunia ini, batinnya.
Kata dokter seharusnya Bu Hana dirawat sekitar 1 bulan, minimal 3 minggu. Karena untuk sembuh total saja perlu 3 bulan, tapi untuk perawatan bisa 3-4 minggu. Namun pada hari ke-10 Bu Hana yang kondisinya masih pas-pasan bersikeras ingin pulang, karena tidak ingin menambah beban biaya, dia ingin uang yang diberikan kantor sebagai biaya berobat dikasih ke Raffi dan eno saja untuk bayaran semesteran. Bu Hana lebih memilih dirawat dirumah, walaupun seadanya namun gratis dan uangnya bisa untuk keperluan yang lain. Bu Hana juga merasa tidak bisa meninggalkan kewajibannya sebagai ibu, beliau sangat merindukan anak-anaknya. Beliau sadar perjalanan beliau masih panjang sepanjang harapan beliau terhadap anak-anaknya. Seorang ibu berbuat tanpa pamrih, tidak pernah menuntut apapun dari anak-anaknya, menyayangi dengan setulus hati, dan bagi ibu kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaannya. BASED ON TRUE STORY

  • Share:

You Might Also Like

0 comments