Semua
selalu begini. Tidak berubah sedikitpun. Selama bertahun-tahun dia begini dan
tidak berubah sedikitpun. Apa mungkin dunia tidak menengoknya, walau hanya
sekilas? Entah keberadaannya tidak diinginkan atau dia yang tidak menginginkan
dunia bersamanya. Bagi dia semua dapat dia lakukan sendiri tanpa siapapun.
Bahkan, dia enggan menatap sepasang mata, baik itu mata orang lain atau matanya
sendiri.
Gelap,
suram, dan tidak terlihat. Itulah yang dia suka. Membuatnya nyaman dengan
dirinya. Kamar mungilnya dipenuhi oleh gambar dan paper note yang menempel di
dinding. Ratusan buku tertata rapi di sudut kanan. Puluhan jaket tergantung
rapi di sayap kiri kamarnya. Komputernya yang selalu menyala tertata rapi di
samping tempat tidurnya. Dan lampu redup kekuningan menemaninya di setiap hari
dan malamnya.
Di
sudut kiri dan di balik gantungan jaket, setumpuk pakaian bergerak-gerak dengan
sendirinya. Sebuah wajah yang tertutup rambut sebahu muncul di permukaan
pakaian. Ya, cewek itu. Cewek yang dari tadi aku bicarakan. Dia selalu tidur di
tumpukan pakaian, entah mengapa itu membuatnya merasa terlindungi. Seperti
benteng. Dan tempat tidurnya? Sangat rapi tanpa tersentuh sedikitpun.
Perlahan-lahan
cewek itu keluar dan membuka perlahan tirai kamarnya. Di luar hujan, memang
tidak terlalu lebat namun tetap saja membutuhkan payung untuk keluar. Cewek
mengusap jendelanya yang berembun. Jalanan kompleknya sepi, mungkin semua orang
lebih memilih menghangatkan diri bersama keluarga di rumah. Cewek itu memandang
jalanan basah cukup lama.
Cewek
itu menyikat gigi dan membasuh mukanya. Dia memakai blouse, sweater, dan
terakhir jaket. Diluar sangat dingin, dia butuh pakaian tebal. Dia keluar kamar
dan kemudian memandang rumahnya. Tidak berbeda. Sama sekali tidak berbeda sejak
terakhir kalinya dia menata rumahnya bertahun-tahun yang lalu. Bahkan, rumahnya
terkesan tidak berpenghuni dan sarang laba-laba dimana-mana. Kecuali kamar dan
dapurnya.
Cewek
itu mengunci rumahnya dan berjalan ke jalanan memakai payung hitam. Semua serba
hitam. Kecuali kulitnya yang sangat jarang terkena sinar matahari. Cewek itu
menuju sebuah minimarket. Namun, sebelum dia menginjakkan kakiknya di halaman
minimarket. Seorang cowok berteriak “minggir..minggir! Sepeda gue remnya blong!”
mukanya tampak takut menabrak cewek itu.
Cewek
itu mengambil satu langkah dan beruntung sepeda tersebut tidak menabraknya.
Justru cowok itu menabrak pot bunga dan jatuh terjengkal. Cowok itu meringis
dan mencoba berdiri. Cewek itu menoleh ke arahnya, namun tidak menatap muka
cowok itu. Tapi tidak dengan cowok itu, dia justru mengamati gadis yang
terbungkus jaket tebal seperti ulat di depannya. Sesaat mereka terdiam.
Berhadapan, namun tidak saling tatap mata. Setelah cewek itu sadar, dia
menurunkan payungnya dan melangkah ke dalam minimarket.
Keranjang
dorongnya penuh dengan sembako. Dia mendorong sambil menatap sayu ke depan.
Seorang kasir menghitung semua belanjaannya satu persatu. “empat ratus lima
puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah,” ucapnya sambil memasukkan barang cewek
itu ke dalam kresek plastik. Cewek itu menyerahkan uang dan kasirtersebut
mengasih kemabaliannya. “sampai jumpa dua bulan mendatang,” ucapnya sambil
tersenyum. Cewek itu mengangkat mukanya dan dia terkejut melihat wajah kasir
tersebut. Seluruh badannya terasa dingin lalu mendadak panas dan jantungnya
berdegup kencang. Baru kali ini dia menatap wajah orang. Kasir tersebut
tersenyum, “Kenapa, mbak? Saya ganteng, ya? Mbak sih nggak pernah lihat muka
saya. Hehe” katanya terkekeh.
Cewek
itu dengan tergesa-gesa mengambil belanjaannya dan setengah berlari keluar
menerobos hujan. Jantungnya masih berdegup kencang, tubuhnya panas seketika,
matanya terasa berat, dan tubuhnya menuntutnya untuk diam. Namun dia harus
sesegera mungkin sampai di rumah. Dia merasa setengah sadar berjalan menuju
rumah dan sesampainya, dia terduduk di depan kamarnya sambil memeluk kakinya.
Suara
musik indie terdengar begitu keras dari luar rumah minimalis berwarna merah
abu-abu. Berisik memang, namun tidak terlihat sama sekali tanda-tanda
kehidupan. Dari depan rumah ini terlihat sangat terawat, begitu pula dengan
dalamnya. Seorang cowok menatap rumah tersebut untuk waktu yang cukup lama dan
masuk ke dalam. Dia berjalan menuju asal suara musik yang tidak henti-hentinya. Segera dia menaiki anak tangga dengan hati yang agak kesal.
“hah,
anak itu! Jadi musik ini ngga berhenti selama empat hari.” Katanya sebal sambil
mematikan laptop.
“DOORRR!”
suara balon meletus ketika dia menghempaskan badannya di ranjang. Ternyata di
bawah selimut ada beberapa balon. Cowok itu langsung terduduk dan menutup
telinga, badannya seketika dingin dan gemetar. Ya, dia fobia balon.
Butuh beberapa menit untuk menetralkan perasaannya karena fobianya tersebut. Setelah cukup kuat untuk berdiri, cowok itu membuka jendela kamarnya. Dia melihat sekeliling rumahnya. Karena kamarnya ada di lantai 2, jadi view yang tertangkap matanya juga luas. Diluar memang masih gerimis, jalanan juga masih basah. Rumah di komplek ini memang nampak serupa, dari desain, warna cat, dan pagar. Seperti kumpulan rumah kembar.
Mata cowok itu terhenti ketika menatap sebuah rumah. Rumah tersebut nampak berbeda. Memang bentuknya seperti rumah di sampingnya. Namun ada sesuatu yang terlihat rumah itu begitu berbeda dibanding rumah yang lainnya. Rumah tersebut dari luar memang tampak tidak terurus, tapi ada satu kamar di lantai dua dan ruang tengahnya terlihat cahaya lampu. Dan disana ada sebuah payung yang terbuka dan tergantung di pagar rumahnya.
Rumah itu............
Rumah itu............
2 comments
Interesting :) lanjutannya kpan?
ReplyDeleteDi tunggu lanjutannya. melodrama nih kayaknya
ReplyDelete