­
­

Willbeend (The series) : #1 That Girl, That Man.

By Gusti Gina - Monday, June 02, 2014


Semua selalu begini. Tidak berubah sedikitpun. Selama bertahun-tahun dia begini dan tidak berubah sedikitpun. Apa mungkin dunia tidak menengoknya, walau hanya sekilas? Entah keberadaannya tidak diinginkan atau dia yang tidak menginginkan dunia bersamanya. Bagi dia semua dapat dia lakukan sendiri tanpa siapapun. Bahkan, dia enggan menatap sepasang mata, baik itu mata orang lain atau matanya sendiri.

Gelap, suram, dan tidak terlihat. Itulah yang dia suka. Membuatnya nyaman dengan dirinya. Kamar mungilnya dipenuhi oleh gambar dan paper note yang menempel di dinding. Ratusan buku tertata rapi di sudut kanan. Puluhan jaket tergantung rapi di sayap kiri kamarnya. Komputernya yang selalu menyala tertata rapi di samping tempat tidurnya. Dan lampu redup kekuningan menemaninya di setiap hari dan malamnya.

Di sudut kiri dan di balik gantungan jaket, setumpuk pakaian bergerak-gerak dengan sendirinya. Sebuah wajah yang tertutup rambut sebahu muncul di permukaan pakaian. Ya, cewek itu. Cewek yang dari tadi aku bicarakan. Dia selalu tidur di tumpukan pakaian, entah mengapa itu membuatnya merasa terlindungi. Seperti benteng. Dan tempat tidurnya? Sangat rapi tanpa tersentuh sedikitpun.

Perlahan-lahan cewek itu keluar dan membuka perlahan tirai kamarnya. Di luar hujan, memang tidak terlalu lebat namun tetap saja membutuhkan payung untuk keluar. Cewek mengusap jendelanya yang berembun. Jalanan kompleknya sepi, mungkin semua orang lebih memilih menghangatkan diri bersama keluarga di rumah. Cewek itu memandang jalanan basah cukup lama.

Cewek itu menyikat gigi dan membasuh mukanya. Dia memakai blouse, sweater, dan terakhir jaket. Diluar sangat dingin, dia butuh pakaian tebal. Dia keluar kamar dan kemudian memandang rumahnya. Tidak berbeda. Sama sekali tidak berbeda sejak terakhir kalinya dia menata rumahnya bertahun-tahun yang lalu. Bahkan, rumahnya terkesan tidak berpenghuni dan sarang laba-laba dimana-mana. Kecuali kamar dan dapurnya.

Cewek itu mengunci rumahnya dan berjalan ke jalanan memakai payung hitam. Semua serba hitam. Kecuali kulitnya yang sangat jarang terkena sinar matahari. Cewek itu menuju sebuah minimarket. Namun, sebelum dia menginjakkan kakiknya di halaman minimarket. Seorang cowok berteriak “minggir..minggir! Sepeda gue remnya blong!” mukanya tampak takut menabrak cewek itu.

Cewek itu mengambil satu langkah dan beruntung sepeda tersebut tidak menabraknya. Justru cowok itu menabrak pot bunga dan jatuh terjengkal. Cowok itu meringis dan mencoba berdiri. Cewek itu menoleh ke arahnya, namun tidak menatap muka cowok itu. Tapi tidak dengan cowok itu, dia justru mengamati gadis yang terbungkus jaket tebal seperti ulat di depannya. Sesaat mereka terdiam. Berhadapan, namun tidak saling tatap mata. Setelah cewek itu sadar, dia menurunkan payungnya dan melangkah ke dalam minimarket.

Keranjang dorongnya penuh dengan sembako. Dia mendorong sambil menatap sayu ke depan. Seorang kasir menghitung semua belanjaannya satu persatu. “empat ratus lima puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah,” ucapnya sambil memasukkan barang cewek itu ke dalam kresek plastik. Cewek itu menyerahkan uang dan kasirtersebut mengasih kemabaliannya. “sampai jumpa dua bulan mendatang,” ucapnya sambil tersenyum. Cewek itu mengangkat mukanya dan dia terkejut melihat wajah kasir tersebut. Seluruh badannya terasa dingin lalu mendadak panas dan jantungnya berdegup kencang. Baru kali ini dia menatap wajah orang. Kasir tersebut tersenyum, “Kenapa, mbak? Saya ganteng, ya? Mbak sih nggak pernah lihat muka saya. Hehe” katanya terkekeh.

Cewek itu dengan tergesa-gesa mengambil belanjaannya dan setengah berlari keluar menerobos hujan. Jantungnya masih berdegup kencang, tubuhnya panas seketika, matanya terasa berat, dan tubuhnya menuntutnya untuk diam. Namun dia harus sesegera mungkin sampai di rumah. Dia merasa setengah sadar berjalan menuju rumah dan sesampainya, dia terduduk di depan kamarnya sambil memeluk kakinya.
***
Suara musik indie terdengar begitu keras dari luar rumah minimalis berwarna merah abu-abu. Berisik memang, namun tidak terlihat sama sekali tanda-tanda kehidupan. Dari depan rumah ini terlihat sangat terawat, begitu pula dengan dalamnya. Seorang cowok menatap rumah tersebut untuk waktu yang cukup lama dan masuk ke dalam. Dia berjalan menuju asal suara musik yang tidak henti-hentinya. Segera dia menaiki anak tangga dengan hati yang agak kesal.

“hah, anak itu! Jadi musik ini ngga berhenti selama empat hari.” Katanya sebal sambil mematikan laptop.

“DOORRR!” suara balon meletus ketika dia menghempaskan badannya di ranjang. Ternyata di bawah selimut ada beberapa balon. Cowok itu langsung terduduk dan menutup telinga, badannya seketika dingin dan gemetar. Ya, dia fobia balon.

Butuh beberapa menit untuk menetralkan perasaannya karena fobianya tersebut. Setelah cukup kuat untuk berdiri, cowok itu membuka jendela kamarnya. Dia melihat sekeliling rumahnya. Karena kamarnya ada di lantai 2, jadi view yang tertangkap matanya juga luas. Diluar memang masih gerimis, jalanan juga masih basah. Rumah di komplek ini memang nampak serupa, dari desain, warna cat, dan pagar. Seperti kumpulan rumah kembar. 
Mata cowok itu terhenti ketika menatap sebuah rumah. Rumah tersebut nampak berbeda. Memang bentuknya seperti rumah di sampingnya. Namun ada sesuatu yang terlihat rumah itu begitu berbeda dibanding rumah yang lainnya. Rumah tersebut dari luar memang tampak tidak terurus, tapi ada satu kamar di lantai dua dan ruang tengahnya terlihat cahaya lampu. Dan disana ada sebuah payung yang terbuka dan tergantung di pagar rumahnya. 
Rumah itu............

  • Share:

You Might Also Like

2 comments