Irene, sosok loveable lady. Begitu ia dimataku, bagaimana tidak ? Secara fisik ia jelas cantik dan memikat, secara kepribadian dia mampu membuat semua orang nyaman bersamanya. Topik apapun terasa nyambung pabila ngobrol dengannya. Tapi sayang, bukan milikku.
Dia milik orang, disayang dan jelas dibanggakan oleh kekasihnya. Tak jarang menimbulkan iri dan dengki bagi kami kaum adam yang lain. Sebenarnya, Irene tidaklah super cantik seperti aktris atau model. Badannya pun tak semampai. Tapi dia manis dan terasa benar-benar terasa pas untuk dijadikan kekasih untuk dipeluk. Badannya tak besar, tak juga kecil. Kulitnya cerah bersinar, rambutnya hitam lurus dengan gelombang dibawahnya, dan setiap dia berbicara begitu terlihat cerdas. Idaman!
"Dika, jadi mau kan bantu aku buat project ini?" Irene sedang meminta bantuan, entah kenapa suaranya saja terasa sebuah rayuan ditelingaku. Tak kuasa untuk ditolak.
"Tentu. Jadi festival ini emang ditargetin buat keluarga gitu ya?" Jawabku dengan tenang untuk menahan gejolak rasa. Cowok memang begini, kami pandai mengendalikan segalanya.
"Yap! Jadi kontennya nanti emang family based gitu. Mulai dari parenting, games buat anak-anak, lomba, semuanya deh!" Jawabnya antusias dengan senyum manisnya.
Irene. Irene. Irene. Tak tahukah dirimu ini seperti magnet bagi kami. Menarik dan memikat tapi apalah daya, selalu ada Andi disampingmu. Kulihat Andi sedang biasa saja, bermain hape dan terlihat sibuk sendiri. Irene seperti merengek entah apa yang dia bicarakan karna kupingku tak mendengar suara pelannya. Andi tersenyum dan melepas handphone nya, kemudian mengusap kepala Irene dengan manjanya. Sialan ! Mereka tidak pernah mau bertoleransi dalam bercinta.
Jika kebanyakan crew cewek itu biasa aja dan terlihat boyish, tidak dengan Irene. Dia terlihat feminin, anggun, dan memikat. Tapi jangan salah, dia bukan cewek cantik dengan otak dangkal. Dia cerdas, selalu menjadi inisator dan problem solver. Dibalik sifat bijaknya, sense of humour nya juga luar biasa sekali. Sangat pandai membedakan antara kerjaan dan pertemanan. Dia selalu menjadi orang yang membuat keadaan rame. Ah Irene, kenapa kau begitu sempurna?
"Dik, kita pulang duluan ya. Biasa Irene...," Andi berdiri dan diikuti oleh Irene disampingnya yang sambil tersenyum. Aku dan yang lainnya mengangguk dan bersalaman. Ah tapi tidak dengan Irene, semenjak menjadi pacar Andi dia sudah sangat jarang bersentuhan fisik dengan kami teman cowoknya, salaman maksudnya.
Andi dan Irene pulang. Tersisalah Aku dan tiga temanku yang lain. "Irene tuh ya, makin lama makin pengen di.....," Rahman membuka pembicaraan sambil bercanda dengan nada nakal. Biasalah, pembicaraan begini bukanlah hal yang tabu.
"Ditikung" Rahman memperagakan tangannya seolah sedang berada ditikungan saat menaiki motor. Ya tentu tikungan yang dia maksud ini adalah merebut Irene.
"Punya orang woy!" Aku mengingatkan. "Tapi selama janur kuning belum melengkung, bolehlaah...," lanjutku dengan disambut tawa gelak teman-temanku.
Telepon ku berdering tiba-tiba. Oh ternyata pacarku menelpon. Iya aku juga punya pacar sebenarnya, namun benar-benar terasa hambar.
"Iya, halo?" Jawabku.
"Yang, kamu dimana?" Tanya dia dengan nada mendesak. Ah pasti minta temenin makan, biasalah cewek.
"Lagi ngumpul sama temen nih di Coffecow." akupun menjawab dengan nada malas. Benar-benar merusak fantasiku saja telepon darinya.
"Handphone kamu mati ya yang satunya?"
"eh iya habis baterai. Kenapa yang emangnya?"
"Kamu belum tahu, mamah kamu dari tadi nyoba telepon kamu tapi nggak diangkat-angkat. Mamah sakit, minta bawa ke UGD,"
"hah ? mama aku?"
"iya," Aku kaget sekaget-kagetnya mendengar ucapan Lisa.
"Terus kamu sekarang dimana?"
"aku di Rumah Sakit sama mama kamu, sini ya." klik. Lisa menutup teleponnya.
Aku segera mencek WA atau Line dia, benar saja. Puluhan chat dari dia. Dia sepertinya terpaksa menelponku tadi, karena aku pernah marah kepadanya dan bilang jangan telepon saat aku sedang ada kerjaan. Karna tadi meeting ya tentu dia mikirnya begitu. Aku bergegas ke Rumah Sakit, menemui ibuku. Anak macam apa aku ini.
***
Aku melihat dari jendela kamar inap ibu. Kulihat Lisa sedang menyelimuti ibuku kemudian membereskan kamar. Wajahnya terlihat lelah dan tak bergairah. Terlihat kucel dan tanpa semangat. Akupun rasanya tak juga semangat ditambah karna tadi setelah berbicara dengan dokter kalau lambung ibuku luka dan juga sering telat makan.
Lisa mengambil tas, sepertinya ingin pulang. Dia membuka pintu dan melihatku sekilas kemudian berlalu. Sepertinya dia marah. Ya dia memang sering begitu, dia cukup sensitif alias baperan. Aku masih punya perasaan dan harga diri sebagai lelaki, ku kejar dia. Tapi tak juga dia berbalik.
"Lis...," Panggilku pelan. Lisa berbalik dan menatapku kesal. Aku sudah tahu apa yang akan dia ucapkan, dia pasti akan mengomel panjang lebar dan menyalahkan aku. Cukup didengarkan sajalah omelannya.
"Aku lelah," ternyata hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"aku antar pulang ya?" tanyaku lembut, sepertinya dia benar-benar lelah karena mengurus ibuku. Bagaimanapun aku harus berterimakasih kepadanya.
Aku dan Lisa masuk mobil. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Entah kenapa muncul perasaan bersalah dalam benakku. "Kok diem aja. Makasih ya sudah ngurusin mama," Ucapku pelan membuka pembicaraan. Memang aku hanya tinggal berdua dengan mama, ayahku sudah lama meninggal dunia.
"Kamu sebenarnya cinta nggak sih sama aku?" Rasanya disambar petir ketika Lisa bertanya seperti itu.
"kok nanya gitu?" tanyaku balik.
"Aku merasa bertepuk sebelah tangan selama 2 tahun ini. Lama kita pacaran, tapi rasanya aku tidak dapat merasakan cinta kamu apalagi kesungguhanmu," ucapnya pilu. Ini benar-benar mengiris hatiku, semakin merasa bersalah. Rasanya untuk menyetir pun aku tak mampu.
"Aku sering bertanya dengan diriku sendiri, apakah aku yang terlalu berharap dan menuntut cintamu sehingga aku mati rasa tak dapat rasakan cintamu. Atau memang kamu yang tak mencintaiku?" lanjutnya. Lisa menghela napas panjang sambil melihat kesamping, seolah tak mau menatapku. "Aku memang tak sempurna bagi kamu. Selalu ada salahnya, selalu ada celanya. Tak pernah cukup, bahkan mendekatipun tidak. Saat mengurus mama tadi, aku merasa bersalah sama beliau. Aku takut rasa sayang dia kepadaku nantinya membuatnya terluka. Jika kita memang tak berujung,"
Mobil kuhentikan, karena memang sudah di depan rumah Lisa. Rasanya kepalaku penuh tiba-tiba. Aku bahkan tak dapat berpikir. Tapi entah kenapa perkataan Lisa benar-benar membuatku merasa bersalah dan sedih. Aku merasa dia memberikan sinyal perpisahan. Apakah aku segitu buruknya memperlakukan Lisa. Apakah aku berdosa berfantasi tentang sosok lain dikepalaku, bukan Lisa tapi Irene. Tapi jelas Irene tak akan kumiliki, Lisa yang kumiliki. Tidakkah itu cukup baginya? Atau tak cukup bagiku?
Jantungku rasanya melemah, darahku seolah naik ke ubun-ubun, dan dadaku terasa sakit. Benar-benar sakit. Aku berusaha menelaah apa yang terjadi, kenapa dengan Lisa? Hubungan kami baik-baik saja. Dalam artian aku dan dia hampir tidak bertengkar. Makan bareng, jalan bareng, dan sering bertemu bahkan keluarga kami pun sudah saling tahu. Apa yang salah? Mengapa Lisa merasa bertepuk sebelah tangan? Padahal aku selalu disampingnya.
"Sepertinya kita istirahat dulu. Sama-sama berpikir bagaimana baiknya. Hubungan kita baik-baik saja, bahkan terlalu baik-baik saja." Ucapnya pelan. Sangat pelan dan terdengar hati-hati.
Lidahku benar-benar terasa kelu tapi aku tak sanggup menahan tanya, "Lantas kenapa?"
Lisa memandangku dengan wajah lelahnya, "apa kamu pernah khawatir ? apa kamu pernah cemburu? apa kamu pernah marah ? apa kamu pernah curiga?" Lisa menunduk lama dan memaksaku berpikir ulang tentang hubungan kami. "tidak. Kamu tidak pernah,"
Sesaat aki tersadar. Kucoba flashback semua cerita kami. Benar, aku tak pernah mengkhawatirkan dia, tak pernah cemburu, tak juga marah apalagi curiga. Karena aku mengenal Lisa, dan aku tahu dia tidak akan pergi dariku. Aku tahu betapa besar cintanya bagiku, sikapnya penuh cinta kepadaku meski aku biasa saja. Aku merasa dizona ternyaman bersamanya, hingga aku liar berfantasi sosok lain.
Lisa memegang tanganku sebentar namun cukup erat, kemudian ia berlalu keuar mobil tanpa sepatah katapun. Aku pun juga begitu. Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, tak banyak gerak yang mampu kuupayakan. Aku hanya terdiam merenung dan berpikir penuh sesal di dalam mobil untuk waktu yang lama.
Bodoh dan jahatkah diriku selama ini? Tak pandai bersyukurkah aku selama ini dengan memiliki Lisa? Memang Lisa tidak seperti sosok Irene yang begitu sempurna dimata dan kepalaku. Tapi Lisa selalu ada untukku, dengan tulus melimpahkan cintanya setiap harinya untukku. Dia memang tak secerdas dan secemerlang Irene, tapi dia selalu mampu mengurus segala masalahku bahkan disaat-saat aku putus asa. Astaga! Betapa brengseknya aku termanipulasi oleh halusinasi selama ini. Bagaimana dengan perasaanku yang juga selalu bergejolak saat melihat Irene? Haruskah kukorbankan untuk sepenuhnya dengan Lisa? Bagaimana jika jiwaku benar-benar tak bahagia? Bagaimana lagi dengan Lisa yang merasa tak dicinta selama ini hingga membuatnya lelah?
Tak terasa seperti ada yang membasahi pipiku, ah benar saja ini adalah air mataku. Ternyata masih ada air mata pada diri ini karna tak sekalipun aku menangis sebelumnya. Mengapa sesakit ini? Mengapa aku tak mampu memilih antara perasaanku atau perasaan Lisa? Apa yang salah denganku?
Seribu pertanyaan mengantar waktu hingga ayam berkokok. Aku tersadar selama berjam-jam merenung dan masih dihalaman rumah Lisa. Tak juga ada pesan singkat atau telepon Lisa yang biasanya setiap malam memastikan aku siap tidur diatas tempat tidur. Selarut-larutnya aku pulang kerumah, ia tetap menunggu meski kadang aku lupa berkabar. Tapi pesan singkatnya tak pernah kosong, ia selalu mengirim tanya dimana dan apakah sudah pulang. Tak lupa pula ia kirimkan harapannya aku baik-baik saja dan betapa bersyukurnya dia atas cinta ini. Malam ini, tak kudapat pesan itu meski aku belum sampai ke rumah. Tak lagi pesan cemas itu kudapat, inikah yang dirasakan Lisa selama ini? Tanpa cemas, tanpa marah, tanpa cinta.
cerpen by Gusti Gina
Jantungku rasanya melemah, darahku seolah naik ke ubun-ubun, dan dadaku terasa sakit. Benar-benar sakit. Aku berusaha menelaah apa yang terjadi, kenapa dengan Lisa? Hubungan kami baik-baik saja. Dalam artian aku dan dia hampir tidak bertengkar. Makan bareng, jalan bareng, dan sering bertemu bahkan keluarga kami pun sudah saling tahu. Apa yang salah? Mengapa Lisa merasa bertepuk sebelah tangan? Padahal aku selalu disampingnya.
"Sepertinya kita istirahat dulu. Sama-sama berpikir bagaimana baiknya. Hubungan kita baik-baik saja, bahkan terlalu baik-baik saja." Ucapnya pelan. Sangat pelan dan terdengar hati-hati.
Lidahku benar-benar terasa kelu tapi aku tak sanggup menahan tanya, "Lantas kenapa?"
Lisa memandangku dengan wajah lelahnya, "apa kamu pernah khawatir ? apa kamu pernah cemburu? apa kamu pernah marah ? apa kamu pernah curiga?" Lisa menunduk lama dan memaksaku berpikir ulang tentang hubungan kami. "tidak. Kamu tidak pernah,"
Sesaat aki tersadar. Kucoba flashback semua cerita kami. Benar, aku tak pernah mengkhawatirkan dia, tak pernah cemburu, tak juga marah apalagi curiga. Karena aku mengenal Lisa, dan aku tahu dia tidak akan pergi dariku. Aku tahu betapa besar cintanya bagiku, sikapnya penuh cinta kepadaku meski aku biasa saja. Aku merasa dizona ternyaman bersamanya, hingga aku liar berfantasi sosok lain.
Lisa memegang tanganku sebentar namun cukup erat, kemudian ia berlalu keuar mobil tanpa sepatah katapun. Aku pun juga begitu. Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, tak banyak gerak yang mampu kuupayakan. Aku hanya terdiam merenung dan berpikir penuh sesal di dalam mobil untuk waktu yang lama.
Bodoh dan jahatkah diriku selama ini? Tak pandai bersyukurkah aku selama ini dengan memiliki Lisa? Memang Lisa tidak seperti sosok Irene yang begitu sempurna dimata dan kepalaku. Tapi Lisa selalu ada untukku, dengan tulus melimpahkan cintanya setiap harinya untukku. Dia memang tak secerdas dan secemerlang Irene, tapi dia selalu mampu mengurus segala masalahku bahkan disaat-saat aku putus asa. Astaga! Betapa brengseknya aku termanipulasi oleh halusinasi selama ini. Bagaimana dengan perasaanku yang juga selalu bergejolak saat melihat Irene? Haruskah kukorbankan untuk sepenuhnya dengan Lisa? Bagaimana jika jiwaku benar-benar tak bahagia? Bagaimana lagi dengan Lisa yang merasa tak dicinta selama ini hingga membuatnya lelah?
Tak terasa seperti ada yang membasahi pipiku, ah benar saja ini adalah air mataku. Ternyata masih ada air mata pada diri ini karna tak sekalipun aku menangis sebelumnya. Mengapa sesakit ini? Mengapa aku tak mampu memilih antara perasaanku atau perasaan Lisa? Apa yang salah denganku?
Seribu pertanyaan mengantar waktu hingga ayam berkokok. Aku tersadar selama berjam-jam merenung dan masih dihalaman rumah Lisa. Tak juga ada pesan singkat atau telepon Lisa yang biasanya setiap malam memastikan aku siap tidur diatas tempat tidur. Selarut-larutnya aku pulang kerumah, ia tetap menunggu meski kadang aku lupa berkabar. Tapi pesan singkatnya tak pernah kosong, ia selalu mengirim tanya dimana dan apakah sudah pulang. Tak lupa pula ia kirimkan harapannya aku baik-baik saja dan betapa bersyukurnya dia atas cinta ini. Malam ini, tak kudapat pesan itu meski aku belum sampai ke rumah. Tak lagi pesan cemas itu kudapat, inikah yang dirasakan Lisa selama ini? Tanpa cemas, tanpa marah, tanpa cinta.
cerpen by Gusti Gina
1 comments
TRADING ONLINE
ReplyDeleteBROKER AMAN TERPERCAYA
PENARIKAN PALING TERCEPAT
- Min Deposit 50K
- Bonus Deposit 10%** T&C Applied
- Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover
Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com