Kritikus Main Belakang

By Gusti Gina - Monday, December 16, 2013

Lima belas ribu tujuh ratus rupiah. Kartu ATM dengan saldo delapan puluh delapan ribu enam ratus rupiah yang tentunya tidak bisa dilakukan penarikan tunai, bahkan untuk lima puluh ribu rupiah. Ini adalah uang yang aku pegang sekarang, semua terkumpul dari sisa uang saku kuliah dan tabungan recehanku dalam mug kecil diatas meja belajar. Bagaimana bisa bertahan hidup sendiri di kota orang dengan uang segitu dan kiriman uang dari kampung hanya bisa sebulan sekali setiap tanggal 5, dan itu dua minggu lagi. Belum lagi, lusa aku harus bayar uang kos yang telah kutunda satu minggu. Lebih sialnya lagi, besok adalah acara ulang tahun kampus.

Aku bergabung dengan anak-anak kos lainnya yang sedang menonton televisi. Tidak semua yang memperhatikan televisi, kebanyakan mereka melakukan kebiasaan alamiah wanita, bergosip ria. Para kritikus main belakang begitulah sebutannya.

“sekarang acara tv pada boring.” Gumam Tiwi sambil mencari channel yang dia suka. “semua pada ngomongin pejabat-pejabat yang korup. Semua pada berantem, nyari kambing hitam. Padahal siapa tau aja yang sok-sokan baik, dia ularnya.” Komentar Tiwi memang pedas. Dia sangat membenci sistem politik negara ini, karena ayahnya dulu meninggal gara-gara bergemelut di dunia politik. Menurut cerita Tiwi, ayahnya meninggal dibunuh karena rival nya kalah saat pemilihan anggota DPR di kota asalnya. 

“sudahlah, ngapain sih kita mikirin bedebah-bedebah itu? Kita muda, guys. Mending kita nikmatin hidup kita. They’re so weird, boring, and freak.” Timpal Rika.

“ga gitu, Rika sayang. Kita ini penerus bangsa. Masa depan jutaan rakyat ada ditangan kita-kita. Kalo ga kita, siapa yang bakalan bertindak? Kita hidup bukan hanya untuk bersenang-senang dan mengutamakan diri sendiri, tapi juga untuk orang sekitar” Diana kali ini ikut angkat bicara.

“oh come on, sweety. Kamu jangan sok nasionalis, patriotis, dan whatever lah apa itu namanya. Kamu ga nyadar kamu masuk di Universitas kita juga pake politik kan? Kan kamu tes ujian ga lulus, soooo ortu kamu nyogok biar kamu kuliah disini. Lupa? Kebiasaan kayak gitu udah mendarah daging di negara kita. Dan akuuuu gamau jadi salah satunya, aku mau beda! Hidup ini terlalu berharga buat memikirkan hal ga penting seperti itu” begitulah Rika, begitulah pola pikirnya. Tapi siapa yang melarang? Norma? Nilai-nilai budaya? semua itu hanya seperti kulit bawang yang melapisi hasrat manusia dizaman sekarang ini. Tipis.

Diana terdiam dan kembali sibuk ngobrol dengan Sari. Dan Rika yang melihat Diana kalah telak, tertawa cekikikan yang kemudian mengundang tawa anak-anak lain. Aku tersenyum melihat mereka. Suasana menjadi ribut, suara televisi, suara dari mulut-mulut kritikus main belakang, suara kipas angin dan suara kendaraan dijalanan menjadi satu. Tapi yang terdengar di telingaku hanyalah utang. Benar-benar beban hidup.

Aku menengok jam dinding yang tepat di atas kepala Rianti, pukul 19.23. Aku melihat wajahnya, putih pucat, kurus, pipinya nampak tirus, lingkaran hitam hiasi matanya, dan yang tidak kalah menarik tatapan sayunya tanpa semangat. Aku berdiri dan mendekatinya yang mematung sejak beberapa menit yang lalu.
“mau ikut jalan keluar ga? Ke warung mpok Minah.” Aku berusaha mengajaknya. Sebagai mahasiwi psikologi, aku tau dia lagi dalam masalah dan mungkin dia sedikit depresi. Aku sudah memperhatikannya beberapa hari ini, dia tidak masuk kuliah dan hanya mengurung diri di dalam kamar.
“boleh,” angguknya dengan senyuman yang jelas itu adalah terpaksa. Namun, aku tidak mempermasalahkanya. 

Aku dan Rianti berjalan keluar dan sepanjang jalan, hanya kesepian yang menemani. Pikiranku sibuk dengan masalahku, bagaimana besok aku ke acara ultah kampus? Aku tidak punya baju yang pas, dan uang yang cukup. Parahnya aku tidak punya baju yang layak untuk ke acaranya. Dan bagaimana bisa aku membayar uang kos lusa? Dan satu malah lagi kubuat, aku mengajak Rianti ke warung mpok Minah,yang tentunya akan mengeluarkan uang, lagi. 

Warung mpok Minah memang jarang sepi, ada saja pelanggan setianya bahkan hampir setiap malam datang. Bukan karena mpok Minah seorang gadis atau janda yang membuat warungnya laku, bahkan beliau sudah sangat tua. Tapi di warungnyalah sering diadakannya konferensi dadakan oleh warga sekitar tentang politik, baik yang muda ataupun yang tua semuanya menjadi satu. Bukan hanya di warung mpok Minah terjadi hal seperti ini, aku yakin ada jutaan hal seperti ini di Indonesia. Orang-orang berpendapat, berkomentar, mencela, dan merutuk namun tidak melakukan apa-apa selain mulut-mulut besar mereka yang bersuara. 

Hanya sebagian yang berani bertindak, yang lain? Pasif. Harusnya kita sadar bahwa demokrasi Indonesia adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lakukan sesuatu, jangan hanya omong.
“teh hangat satu, jeruk hangat satu, mpok!” mpok Minah mengangguk, mengiyakan permintaanku.

Sesuai kebiasaan, selepas isya orang-orang mulai berdatangan. Mpok Minah tampak kalang kabut melayaninya, dan sampai sekarangpun aku heran kenapa beliau tidak mencari pembantu saja untuk meringankan pekerjaan beliau. Entahlah, setiap orang mempunyai alasan masing-masing.

“Pemirsa, Walikota Palembang, Sumatera Selatan, Romeo Hertono diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Romeo Hertono membantah memberikan uang Rp 500 juta untuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Mochtar untuk memenangkan sengketa Pilkada di MK.” Berita di televisi langsung menyita perhatian semua orang yang disini, termasuk aku.

“politik. Sengketa  pilkada. Penyuapan. Entah apa lagi yang terjadi di negeri ini. Semuanya kabur, abu-abu. Tidak jelas, bahkan kalau kita menonton tv seperti ini, kita susah untuk menyaring informasi apakah informasi tersebut akurat atau tidak, benar atau rekayasa semata.” Seorang pemuda memberikan sinyal diskusi ditempat ini.

“hai anak muda! Apa yang diberitakan di tv itu benar, memang begitu adanya, makanya disiarkan diacara berita” Sahut bapak-bapak yang duduk disebelah Rianti, sekilas kulihat wajahnya nampak seperti rakyat biasa, maksudnya adalah orang awam politik.

“maaf, pak! Kita tidak bisa menerima informasi dari media tanpa menyaringnya terlebih dahulu, apakah itu benar atau tidak, akurat atau tidak dan lain sebagainya. Karena itu bisa membuat orang menghakimi orang lain dan kemudian berkelakuan sangat tidak beradab kepada seseorang yang diberitakan negatif di media elektronik” jawabnya kritis. Andai semua orang pemikirannya seperti dia, tapi nyatanya? Tahu sendirilah.

“kalian ini anak muda zaman sekarang, bisanya bersenang-senang saja tanpa memedulikan negeri ini. Kalian tidak tahu betapa krisisnya negeri kita? Otak kalian itu teracuni hal-hal modern.” Dari nada bicaranya, beliau jelas geram karena jawaban pemuda tadi seakan-akan menyudutkan beliau. Watak orang tua, tidak mau kalah dengan yang muda.

“ga semua hal modern itu buruk, pa!” sahut pemuda lagi. Sama-sama keras kepala rupanya.

“sudah sudah sudah, yowes diminum dulu kopinya.” Mpok Minah menengahi mereka serambi menyodorkan kopi ke bapak tersebut.

“owalah...gusti Allah, apa yang ada dipikiran para pejabat itu kok korupsi, udah dikasih jabatan, dikasih fasilitas, gajinya banyak masih saja korupsi, nda kayak saya yang cuman tukang becak doang, penghasilan tidak seberapa. Tapi tetap bersyukur uang yang saya peroleh halal, ckck” satu lagi, seorang bapak-bapak bergumam. Beliau tampak lelah, mata yang layu, kulit keriput, dan badan kurus yang memperlihatkan urat-uratnya dengan jelas.

“nah itu pak! Mereka itu tidak memikirkan rakyat. Mereka tidur di kamar mewah, tapi tidak terpikir kalau diluar sana ada anak yatim yang tidur di bawah jembatan. Kalau saya nanti jadi anggota pemerintah, saya akan tegakkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dan pastinya tidak akan korupsi” seorang pria kira-kira beumur 30 tahunan menyahut perkataan si pak tua.

“selalu begitu!” ucap Rianti tegas. Aku menengoknya, kaget karena tiba-tiba dia melibatkan diri dengan para kritikus main belakang. Kini semua orang menatapnya heran termasuk aku.
“ehem.” Pemuda yang pertama tadi kembali angkat bicara, “maksudnya apa ya, mbak?”

Rianti meluruskan pandangannya dan sorot matanya yang sayu berubah jadi tegas. “kalian tidak tahu bagaimana sebenarnya politik itu. Kebanyakan melihat dari kacamata hitam. Hidup bergemelut dipolitik itu kejam, susah-susah gampang. Kita akan terbiasa bermain peran dan berdusta. Kalau tidak, kita yang tamat.” 

Kalimat Rianti membuat banyak orang bingung. Tapi aku mengerti. Aku mengerti apa maksudnya dan siapa yang dia maksud. Aku tahu itu. 

“omong kosong orang bergabung di politik dengan niat tulus, mensejahterakan rakyat, tidak korupsi, atau apapun itu yang menurut kita mulia. Tapi sekali kalian masuk, semuanya mejadi terbalik, tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Orang berlomba-lomba terjun kedunia politik dengan mulut besar akan mensejahterakan rakyat, memihak rakyat, dan omong kosong lainnya. Tapi mana? Mereka buta! Mereka tuli dengan kata hati mereka, mereka lumpuh dari niat baik mereka.” Rianti menatap tegas semua orang disini, kecuali aku. Aku menyentuh tangannya, berusaha menenangkan emosinya yang sedang meledak.

“tidak, dek. Tidak semua buruk dalam dunia politik, pasti ada yang baik juga. Contohnya saya sendiri, saya tahun ini mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, semoga saja berhasil. Saya pasti akan mengubah Indonesia jadi lebih baik,” pria yang nampak rapi dengan setelan kemeja yang dipakainya menampik perkataan Rianti.

Rianti terkekeh dengan kesan melecehkan perkataan pria tersebut. “bapak pikir buat bisa menjadi anggota legislatif itu mudah? Cukup modal niat baik dan dukungan rakyat?” Rianti berdiam sejenak. “anda salah. 

Anda juga harus cukup modal untuk menjadi bagian dari mereka. Anda harus ngasih pemanis buat mulut mereka, biar tangan mereka yang menjadikan anggota.” Jelas sekali apa yang diutarakan Rianti, semua orang disini tampak takjub mendengar perkataan Rianti yang tampak dia adalah orang yang sibuk dengan politik. 

“makanya tidak heran mereka korupsi, mereka butuh balik modal.” 

“kamu kritis. Itu bagus! Tapi ga semua gitu, memang sih kebanyakan dari mereka begitu. Tapi kan tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki negeri ini?” pemuda yang dari tadi diam kini mulai angkat bicara. Obrolan berat mulai memanas.

“memperbaiki negeri? Memperbaiki diri aja belum, gimana mau memperbaiki negeri. Pada dasarnya ini semua hanyalah masalah pribadi masing-masing. Kalau setiap orang bisa manajemen diri mereka dan berkomitmen, ga bakal ada masalah kompleks gitu kan?” aku menyahut perkataan pemuda tersebut. Rasanya aku perlu berpartisipasi dalam obrolan ini.

“alangkah lucunya negeri ini,” komentar bapak tukangbecak tadi, rupanya beliau sedang memperhatikan siaran berita ditelevisi disaat yang lain sibuk sekali.

“ada apa lagi sih, pak?” tanya pemuda tersebut dengan penasaran.

“itu lho dek, handphone-handphone pejabat negara kita disadap sama mata-mata Australia. Sekarang hubungan kita sama Australia kena imbasnya. Aneh-aneh sajo dunia sekarang.” kata beliau sambil menyeruput kopi.

Semua mata yang ada dimata mpok Minah kembali menyimak berita. Aku berani bertaruh, setelah siara ini akan ada perbincangan hangat mengenai politik. Kenapa sih ngomong doank?kenapa ga kerja nyata aja?
Rianti menunduk dan sambil meremas-remas tangannya, jelas terlihat dia sedah gelisah. Aku berniat ngajakin Rianti pulang saja, daripada berlarut-larut disini dan berdebat bersama kritikus main belakang, lebih baik tidur dan mengistirahatkan tubuh. Aku mendekatkan mulutku ketelinganya, “pulang, yuk!” kutatap matanya yang sayu dan ku kasih isyarat pulang. Aku membayar ke mpok Minah dan kami mulai meninggalkan warung Mpok Minah.

“dek! Tunggu!” aku berpaling dan menengok ke arah asal suara, ternyata bapak caleg tadi yang mengikuti kami.

“iya?” jawabku.”

“begini, ini ada sedikit rezeki dek buat kalian, terima saja ya!” beliau memberikan amplop coklat lumayan besar. Aku buka isinya ternyata lima lembar uang ratusan ribu. Kaget! Rasanya keajaiban dapat uang segini banyaknya disaat sama sekali tidak punya uang.

“atas dasar apa anda mengasih kami uang?” Rianti merebut amplop tersebut dari tanganku dan menatap tajam bapak tersebut. “anda tidak perlu buang-buang uang hanya untuk mendapatkan dua suara di pemilu nanti. Simpan uangnya untuk anak istri bapak!” Rianti mengembalikan uangnya pada bapak tersebut, wajahnya tiba-tiba terlihat kagok.

“kalian jangan munafik. Mahasiswi kayak kalian butuh dana yang banyak, jadi jangan berlagak sok ga butuh uang.” Kalimat melecehkan dan memaksa nampak jelas terlontar dari mulutnya.
Aku mulai kesal, “bapak! Jangan pikir kami rakyat kecil tidak bisa melakukan apa-apa untuk negeri ini. Setidaknya kami bisa berperilaku jujur dan apa adanya, daripada bapak tadi yang sok-sokan baik, ternyata ular juga.” Aku menghela napas panjang. “anda sama saja dengan caleg lainnya, tujuan utama menduduki kursi DPR hanya tergiur oleh uang yang akan anda dapatkan. Rusak negeri ini karena bedebah seperti kalian!” aku menghentakkan kaki dan menarik tangan Rianti sambil berlalu meninggalkan  Bapak tersebut. Aku paling tidak suka dianggap lemah. Sangat tidak suka.

Langkahku semakin cepat karena suasana hati yang sangat kesal. Caleg macam apa dia? Jangan harap dia menduduki kursi wali rakyat. Aku semakin heran dengan dunia ini, lebih tepatnya negeraku sendiri. Semua menjadi serba membingungkan. Sulit membedakan yang putih dan yang hitam, semua serba abu-abu. Sebentar lagi akan diadakan pemilu, dan sialnya usiaku sudah 18 tahun, yang artinya aku harus ikut memilih salah satu kepala untuk menjadi wali rakyat. Rasanya ingin menjadi anak kecil, yang tidak merasakan kompleksnya kehidupan. 

Rianti membuka pagar. “duduk diteras dulu,yuk. Gak enak sama anak-anak yang lain liat muka kamu yang ditekuk gitu.” Katanya terkekeh. Sebenarnya aku cukup bahagia melihatnya yang berusaha menghiburku, dia mulai tersenyum.

“boleh,” anggukku.

“ayahku berurusan dengan KPK.” Ucapnya lirih yang sentak membuatku terperanjat. Jadi itu alasannya dia menjadi seperti ini. Aku duduk dikursi yang menghadap kejalan, dan Rianti duduk disampingku.

“kapan?”  

“seminggu yang lalu. Ayahku dituduh menerima aliran dana dari seorang pejabat negara, sebut saja Mr. X. Tapi aku tau kok cerita yang sebenarnya, ayahku tidak mau ikut bekerja sama dengan rekannya untuk menggelapkan uang sekian miliar. Karena ayahku menolak, dan merasa rekannya tadi merasa rahasianya terancam dia melaporkan ayahku duluan ke KPK sebagai kedok dia bersembunyi. Aku kenal dengan rekan kerja ayahku itu, bahkan beliau lumayan sering kerumah dulu dan sering bercanda sama aku. Rasanya mustahil ini terjadi, tapi inilah kenyataannya. Yang kita kira baik, ga selalu baik. Aku gatau lagi mesti gimana, usaha ayahku terpaksa dijual untuk mengurus masalah ini. Mama sama ade aku tinggal dirumah nenek aku. Kami kacau.” Jelas terlihat air matanya mengalir dipipinya. Aku merangkul Rianti dan berusaha menenangkannya.

“sabar... mungkin ini bukan kata yang kamu harapin keluar dari mulutku. Aku nggak terlalu ngerti soal politik, karena dikeluargaku kebanyakan dari kalangan pebisnis, bukan politikus. Tapi percaya deh, semua ini pasti berlalu. Walaupun sulit, kita hanya diminta Tuhan untuk menjalani dan lakukan yang benar.” Rianti tersenyum melihatku, rasanya terenyuh melihat dia. Manusia selalu memiliki masalah yang berbeda, tadinya aku merasa yang paling banyak masalah untuk sekarang tapi ternyata masih ada yang lebih berat dibanding masalahku, temanku sendiri.

“makasih yah, rasanya lega bisa berbagi.”

“iya, jangan sungkan kalonya mau cerita, yuk kita masuk!” 

Suasana sangat ramai, rupanya sedang ada perdebatan politik disini. Aku lewat dan mendegar kicauan mereka sekilas. “nggak, menurut aku apatisme itu karena ada perilaku korup dan stigma lain, seperti perbuatan asusila,penyalahgunaan narkoba misalnya. Jadi itu bikin  publik resisten, percuma dong ada partai politik tapi ngga bisa dijadikan acuan panutan asprirasi menyampaikan aspirasi politik.” Itu suara Diana dengan bahasanya yang kurang komunikatif untuk orang awam, termasuk aku. Entah apa maksudnya. Obrolan mereka rupanya tidak ada habisnya. Begitulah manusia, menyenangkan bisa berbicara dan berdebat tentang suatu hal tanpa ada yang melarang, berbicara dibelakang. Omongannya para kritikus main belakang.

Aku membuka pintu kamarku dan segera merebahkan diri diatas kasurku. Aku mengambil handphone yang seharian ini tidak kusentuh. Lima panggilan tidak terjawab dan duapuluh dua sms belum dibaca, banyak banget. tiga panggilan dari ibu, dan dua panggilan dari Dovi. Dan sisanya sms dari temen sekampus dan sms Dovi, kasian dia seharian tidak aku hiraukan. Tapi ada sms yang bikin aku tersenyum,

From: Killa
Mana aja lo? Seharian dicariin gada kbrnya, Dovi nyariin tauk. Oh ya ini, gw mau byar utang sma lo, bulan lalu kan gw ngutang sm lo, sori bru bs byar skrang, bsok pgi gw anter ke kos lo.jgn kmna2.

Benar, Tuhan selalu memberikan jalan keluar atas masalah yang dia beri, kita cukup jalani dan lakukan yang benar. Tuhan tidak akan membiarkan kita sendiri. Aku tersenyum lebar, rasanya lega. Entah apa yang akan terjadi diluar sana, terjadilah. Aku akan jalani dan lakukan hal yang benar. Aku melihat layar ponselku yang bergetar, dan disana terpampang nama dan foto Dovi. Aku mengangkat telponnya dengan perasaan yang lebih baik.

  • Share:

You Might Also Like

1 comments