Ada sebagian
orang yang berprinsip bahwa cinta itu gak harus memiliki. Begitu juga denganku
yang memegang prinsip itu. Aku mencintai seorang cowok yang telah dimiliki
orang lain. Sempat aku berpikir ingin merebutnya, namun tidak aku lakukan
karena aku adalah seorang cewek yang mempunyai perasaan dan hati. Aku bayangkan
menjadi April, pacar dari cowok yang aku suka. Pasti aku sangat terpukul pacar
yang sangat aku cintai berpaling dariku dan jalan dengan orang lain, pasti
sangat sakit rasanya. Makanya, aku lebih memendam perasaan ini, mungkin akan
hilang dengan seiring waktu. Cowok itu adalah orang yang paling terpenting
bagiku sekarang, entah kenapa hatiku mengatakan seperti itu. Dulu waktu dia
kecelakaan, sampai di opname di RS beberapa hari. Waktu itu aku sangat cemas
kalau dia kenapa-napa. Setiap malam aku mendoakannya, aku gak sanggup untuk
kehilangannya. Rasa ini gak seorang pun tau, HANYA AKU yang tau, dan aku emang
gak mau ngumbar semuanya. Cukup aku saja yang merasakan manis pahit dari cinta
yang bersemi dihatiku.
“Tiara, lo
kenapa ngelamun mulu, sih?” Kevin menepuk bahuku perlahan. Ya, Kevin adalah
cowok yang aku suka.
“eh, elo.
Nggak kenapa-napa kok,” aku mengilah darinya.
“ntar kesambet
lho... hahaha,” Kevin dan aku tertawa bersama-sama. Ini saja sudah cukup
bagiku, tertawa bersamanya, walaupun dia gak tau kalau perasaanku padanya lebih
sekadar teman. Ku lihat April, mendekat, dan dia pun duduk di sebelah Kevin.
April menyandarkan kepalanya di bahu Kevin, sakit rasanya hatiku melihatnya.
Ini adalah contoh rasa sakit yang kita terima kalau kita hanya mencintai dalam
hati. Benar-benar edih rasanya.
“hai, Tiara!”
April menyapaku dan kemudian melambaikan tangannya.
“haii,”
jawabku masam.
“Tiara, lo
bisa ajarin gue tentang SPLDV matematika yang tadi, gak” Kevin menghadapku dan
kepala April sedikit terangkat. Kulihat mata Kevin, dia seakan risih atas
perlakuan April padanya. Tapi, beberapa menit kemudian suara bel berbunyi. Aku
dan Kevin saling pandang, April berdiri dan memeluk Kevin sambil say goodbye
padanya. Astaga, seandainya Kevin tau perasaan ku yang sedang hancur
berkeping-keping ini. Kelas April emang jauh dari kelas kami. Sedangkan kelas
ku dan kelas Kevin bersebelahan. Kevin berdiri dan menatapku yang kebingungan.
Kemudian menarik tanganku sampai berdiri. Tapi, aku hanya diam. Aku masih sakit
hati tiap melihat Kevin dan April bila lagi bermesraan. Benar-benar cemburu
menguras hati deh.
“Tiara, lo mau
sampai kapan diem kayak patung kayak gini? Kenapa pula tuh muka lo merah gitu.
Aha! Elo cemburu ya tadi April meluk gue? Hahaha,” Kevin tertawa sambil menepuk
buku yang ditangannya. Mataku membelalak mendengar perkataannya. Astaga, gue
gak mau dia tau yang sebenarnya. Gengsi dong!
“apa? Gue
cemburu? Hahaha. Ngaco lo ah! Gue itu sebenernya lagi kebelet pipis. Jadi,
nitip buku gue ya? Letakin aja di meja gue! Bentar ya, gue ke toilet. Gue janji
bakalan ngajarin elo matematika. Suer deh,” aku harus buru-buru kabur nih
sebelum ketahuan kalau aku salting berat. Aku serahin bukuku dan berbalik
badan, setelah beberapa langkah ternyata Kevin malah manggil gue.
“Tiara!
Tunggu! Lo mau kemana?” Kevin berteriak.
“ke toilet
lah. Masa’ gue ke dapur?”
“bukannya
toilet di sana?” Kevin menunjuk ke arah belakang. ASTAGA, aku salah arah. Wah,
aku harus cari alasan jitu deh.
“gue tau,
Kevin. Gue cuman mau ngajak Aliska ke toilet,” kebetulan aku liat Aliska.
Thanks God, gue udah dapet alasan. Gue tarik tangan Aliska. “buruan ikut gue!”
aku berbisik padanya. Dan, Aliska cuman mengangguk.
“oh, dasar
cewek ya? Ke toilet aja pake ditemenin segala. Manja!” komentar Kevin lalu
tertawa saat aku dan Aliska melewatinya.
“yey, Rese,
ah!” aku menjulurkan lidahku. Dan pergi dengan Aliska. Kami ke toilet dan kami
berbicara saat becermin sambil mencuci tangan di wastafel.
“Tiara,
kayaknya gue rasa, gue harus jujur deh ama lo,” Aliska mendekat dan memegang
bahuku. Aku berbalik menghadapnya.
“tentang apa?”
tanyaku terheran-heran.
“gue merhatiin
gerak-gerik elo. Kayaknya elo suka ama Kevin, ya?” Oh My God. Apa-apaan nih.
Aku gak ingin Aliska sampe tau. Cukup gue aja yang tau.
“hah? Ngawur
lo,” aku berbalik dan pura-pura becermin untuk menyembunyikan wajahku yang
memerah.
“gue
serius. Gue cuman mau bilang. Sebaiknya elo bilang ama Kevin. Elo bilang kalo
elo sayang ama dia.
Tapi, kalo elo gak mau juga gak papa sih. Paling-paling
penyesalan yang tiada akhir, Ra” Aliska mungkin benar. Sampai kapan aku harus
begini? Tapi, aku tetap gak bisa maksain perasaanku pada Kevin. Aku gak boleh
egois jadi orang. Aku menarik tangan Aliska, dan membawanya keluar. Kami
sepanjang jalan cuman diem-dieman aja. Sesekali tersenyum, saat hendak masuk
kekelas. Aliska sempat berbisik padaku, “jangan siksa hati dan perasaan lo,”
dan kalimat yang terlontar dari Aliska membuatku semakin bingung. Aku sekarang
harus bagaimana??
Bel berbunyi
menandakan siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang kerumah masing-masing. Aku
bergegas membereskan buku-buku. Aku berjalan keluar kelas, dan kulihat Kevin
sedang bercanda dengan temen-temen cowoknya. Mereka saling tertawa sesekali
saling menepuk bahun dan punggung. Aku melewatinya seperti gak mengenalnya. Aku
berjalan menuju gerbang sekolah, dan aku disana bertemu April. April
memandangku sesaat, lalu melongos pergi. Kalau liat wajahnya tuh bawaanya pengen
ngacak-ngacak rambutnya aja. Iih, nyebelin! Gayanya sejagad amat sih di tambah
aku agak iri ama dia, soalnya dia pacarnya Kevin.
Aku hari ini
terpaksa jalan kaki, karena nyokap aku gak bisa jemput katanya sih sibuk. Aduh,
capek banget. Mana panas lagi!. Ku pandangi setiap orang yang lewat, ada gak
sih di hati mereka buat bantu aku??. Aku duduk sebentar dibawah pohon taman
kota. Adem rasanya duduk di bawah pohon rindang ini. Rasanya mataku hampir
terpejam, disini begitu tenang karena agak jauh dari jalan raya. Kurentangkan
tanganku, tapi kok kayak nya tanganku menghantam sesuatu. Tapi, apa ya? Ku
raba-raba lagi, seperti hidung aja, mmm... ada matanya juga, apa ya? Coba aku
gampar ah, kali aja ngaruh. 1,2,3... “pllakkkk!!!”
“Aduuhhhh..........
siapa sih?” suara seorang cowok mengagetkanku.
“ooppss!
Sorry,” aku menengok. Astaga betapa terkejutnya aku, ternyata Kevin. Aku udah
ngegampar Kevin? Jahat amat aku. Kevin juga tampaknya terkejut setelah
melihatku.
“Tiara?” Kevin
menunjukku dengan ekspresi gak percaya.
“aduhhh...
sori, Vin! Maafin gue, ya? Gue gak tau kalo yang dibelakang pohon ini elo,” aku
minta maaf pada Kevin. Aku lihat-lihat wajahnya, kayaknya gak kenapa-napa sih.
Tapi, bagaimana kalau dia marah? Aduh...
“iya deh, gak
papa kalo elo yang gampar gue. Gak papa kok. Santai aja kali,” kevin
menepuk-nepuk bahuku. Dia kini duduk disebelahku. Kami berdua saling diam yang
terdengar hanya hembusan angin yang begitu lembut.
“oh ya, Tiara.
Elo kan janji mau ngajarin gue matematika. So, ajarin gue sekarang, ya?” Kevin
mengambil buku ditasnya yang lalu membukanya.
“disini?”
tanyaku heran.
“tentu aja.
Ayo dong, besok gue ada ulangan nih. Bantu gue dong!” Kevin memelas, aduh liat
mukanya aja udah luluh.
“oke deh,”
kataku tersenyum.
“gitu dong!
Baru best friend gue! Hahaha,” Kevin tertawa. Kevin hanya menganggap aku
sebagai best friend-nya doang? Ah, gak papa. Mungkin kata cintaku hanya sebatas
hati dan tak terucap dengan mulut ini. Aku mulai mengajarinya, dia terlihat
kesusahan. Aku tetep harus support dia. Sedikit-sedikit sih dia bisa saja,
namun aku jadi grogi ngajarinnya kalau cuman berduaan gini. Mana suasananya
ngepas banget lagi. Kevin memutar-mutar pulpen yang ditangannya, dan kemudian
pulpen itu jatuh dia atas rumput dekat aku duduk. Aku berusaha mengambilnya,
tapi ternyata Kevin juga mengambilnya. Jadinya tangan Kevin gak sengaja genggam
tanganku. Aku memandangnya, dia juga memandangku. Aku hanya bisa tesenyum
simpul. Betapa indahnya hidupku saat ini karena lalui waktu dengannya. Aku
menarik tanganku, pulpen itu pun di ambil kembai oleh Kevin. Kevin tertawa, aku
juga ikut tertawa. Ketahuilah, saat-saat ini adalah moment yang sangat bahagia,
walaupun aku tak memiliki Kevin. Tapi, aku bisa rasain sebuah rasa sayang
ketika bersamanya. Rasa yang semakin membuatku terlena dalam anganku
bersamanya.
0 comments